Jakarta, Teropongnews.id- Ari Bintara Selaku Kuasa Hukum Dalam keterangan nya, Menilai Bahwa Kejaksaan negeri Jakarta timur jaksa penuntut umum melalui jaksa Tompi Pasaribu dalam perkara yang di daftarkan kejaksaan negeri jakarta timur dengan register 365/pid.sus/2023/Pn.ajk.tim dengan mendaftarkan dan membuat perkara pidana khusus Atas nama terdakwa tayo tolu omodaratan bersama para pelapor dan juga saksi yang tidak independen dalam kesaksiannya telah menunjukkan inkompetensi sekaligus keragu-raguan Penuntut Umum atas segala dalil yang didakwahkannya terhadap Terdakwa yang saat ini dibuktikan dengan adanya jaksa penuntut umum memberikan surat keberatan atas pembelaan para penasehat hukum yang mana surat jawaban atau surat keberatan dan membantah surat pembelaan para penasehat hukum yang tidak di atur dalam hukum acara pidana di indoensia sehingga hal demikian menunjukan pula bahwa jaksa Penuntut Umum secara serampangan dalam menggunakan kekuasaannya sebagai jaksa penuntut umum, apabila kejaksaan secara terus menerus menggunakan kekuasaan di luar hukum acara pidana ini merupakan penyimpangan hukum dan juga merupakan perbuatan melawan hukum dimana hal demikian dalam surat menyurat dan jawab jinawab hanya di atur pada hukum acara perdata.
Dalam keterangannya, Ari Mengatakan, Jaksa penutuntut umum harus menjadikan keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar pengadilan (confessions given outside of the court) berupa berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai bagian dari fakta persidangan dalam surat tuntutan berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan Saksi dan Keterangan Terdakwa adalah apa yang ia nyatakan di muka persidangan. Ucapnya.
Menurutnya Jaksa Penuntut Umum juga diduga telah mengkesampingkan fakta persidangan dan telah mengabaikan bukti bukti maupun saksi saksi di persidangan dan tetap menuntut terdakwa sebagaimana berita acara pemeriksaan di kepolisian dengan pasal pasal yang diterapkan kepolisian, yang mana di kepolisian mulai dari pelaporan yang semula tanggal 10 menjadi tanggal dan terdakwa juga tanpa melalui proses hukum yang tidak baik dengan tidak memanggil terdakwa sebagai saksi( dan tidak pula di panggil sebagai tersangka, selain itu penyitaan juga tanpa disertai dokumen resmi( berupa surat perintah penyitaan dari pengadilan setempat, dana pa yang terdakwa sampaikan dan didengar keterangannya di muka persidangan sehingga memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti keterangan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Ungkapnya.
Dirinya melanjutkan, Jaksa Penuntut Umum telah memberikan pembuktian dalam persidangan dimana saksi fakta hanya liana saja yang sudah pasti saksi tersebut tidak memiliki kualitas objektif dalam memberikan kesaksian pembuktian dalam persidangan telah memenuhi asas minimum pembuktian, yakni didasarkan pada 2 alat bukti yang sah. Nyatanya, dalam persidangan Penuntut Umum hanya mampu menghadirkan 1 orang saksi fakta yang secara sepihak diklaim sebagai orang yang melihat, mendengar, dan mengalami tindak pidana. Sisanya, merupakan saksi-saksi yang sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP segaiamana jaksa penuntut umum ajukan.Imbuhnya.
Jaksa penuntut umum tidak memiliki kemahiran yang cukup dalam melakukan penuntutan tindak pidana dibuktikan dengan mengajukan surat keberatan atas pembelaan para penasehat hukum terdakwa yang mana surat keberatan muapun surat bantahan jaksa penutut umum tidak di atur dalam hukum acara pidana di Indonesia Sehingga penasehat hukum meyakin model penuntutan yang demikian akan selalu menciptakan kesesatan dalam proses penuntutan dan persidangan (malicious prosecution). Ujar Ari.
Ari Menjelaskan, Pada Pasal 182 Ayat (1) KUHAP disebutkan Penuntut Umum mengajukan tuntuan pidana kepada Terdakwa setelah Ketua Majelis Hakim telah selesai melakukan pemeriksaan atas alat bukti berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil yang bertujuan penuntutan terdakwa berdasarkan fakta persidangan baik berupa saksi maupun bukti dan tidak hanya mengikuti hawa nafsu menghukum atas dasar idiologi surat berita acara pemeriksaan di kepolisian dan juga atas dasar hubungan emosional maupun atas dasar melihat para pihak dan membandingkan pelapor dan terdakwa dalam pengaruhnya di dunia hukum karena tujuan persidangan untuk mencari fakta/kebenaran materil melainkan untuk menguji fakta/kebenaran materil yang telah terungkap di persidangan dan Penuntut Umum dalam membuat surat tuntutan tidak berdasarkan keterangan terdakwa, keterangan saksi dan alat bukti untuk menilai fakta persidangan yang mana dalam fakta fakta persidangan terdakwa tidak melakukan tindak pidana , bukan hanya mencari dan menilai yang mendukung perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan keterangan tersendiri baik yang jaksa penuntut umu mtulis maupun atas saksi yang diajukan dan bukti yang disampaikan namun tetap merujuk pada pedoman tuntutanyang telah ditentukan baik dalam KUHAP serta dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung nomor 3 tahun 2019. Pungkasnya. (Rls/Ri/**)
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Dinilai Inkopetensi Dan Serampangan Dalam Memberikan Tuntutan
129